Wednesday, July 18, 2007

Bagaimana mencari bahan referensi jurnal di internet?

Ketika menyusun sebuah tulisan ilmiah, seringkali kita terhambat pada sumber-sumber pendukung narasi maupun argumentasi tulisan kita. Hal tersebut terjadi karena pencarian sumber kepustakaan hanya dilakukan di perpustakaan yang kurang memadai koleksinya. Tanpa mengecilkan arti perpustakaan, kita menyadari bahwa sebagian besar koleksi perpustakaan di Indonesia masih kurang memadai terutama untuk koleksi jurnal-jurnal ilmiah.

Referensi
tulisan yang hanya berdasarkan acuan buku-buku teks semata tampaknya kurang memadai. Tulisan ilmiah yang bermutu memerlukan komparasi dengan hasil-hasil penelitian terkini. Bahkan, sebagian besar jurnal ilmiah luar negeri mensyaratkan deskripsi ilmiah hendaknya didukung dengan sumber-sumber yang up to-date.

Kendala tersebut saat ini telah terjawab dengan berkembangnya teknologi informasi terutama akses informasi melalui internet. Berbagai servis dan keuntungan menggunakan aplikasi standar internet antara lain adalah : e-mail, usenet newsgroup, LISTSERV, chatting, Telnet, FTP, gophers, dan WWW. Lima kapabilitas pertama berkaitan dengan aspek komunikasi, FTP dan gophers berhubungan dengan aspek information retrieval, dan WWW memiliki aspek information search.
Bentuk Informasi. Informasi apa sajakah yang dapat kita dapatkan melalui browsing di internet? Ternyata, dunia maya saat ini telah mampu menyediakan banyak sumber dan informasi mengenai: (1) informasi Bibliografi seperti halnya bentuk katalog perpustakaan, (2) Multimedia – informasi dalam bentuk audio, video dan grafis, (3) Perangkat referensi misalnya ensiklopedi, kamus, handbook dan lain-lain, (4) jurnal, koran & majalah, (5) situs dengan peminatan tertentu, blogger, dan (6) database.
Sumber Informasi. Informasi yang terdapat di dalam internet tersedia dari berbagai sumber, misalnya: (1) Institusi pendidikan yang membuat situs resmi beserta perpustakaan on-line, (2) Instansi pemerintah mempublikasikan informasi langsung berkaitan dengan bidang kerjanya, (3) Penerbit yang menyebarluaskan produknya baik secara gratis maupun membayar, (4) Banyak organisasi profesi yang membuat publikasi ilmiah, dan (5) Organisasi internasional yang memberikan kesempatan bagi khalayak untuk mengakses datanya.
Saat ini penyediaan informasi (up-load) dapat dilakukan oleh siapa saja. Sehingga terdapat dua hal yang harus kita perhatikan, yaitu: (1) informasi di dunia maya bersifat never-ending search dan (2) reliabilitas dan validitas sumber acuan. Informasi yang tersedia di internet sangat besar jumlahnya, namun tidak semuanya dibutuhkan. Pencarian tanpa menggunakan strategi khusus dapat membuat frustasi karena telah menghabiskan waktu dan biaya namun belum mendapatkan informasi seperti yang diharapkan. Setiap orang bebas membuka homepage sendiri dan menampilkan berbagai informasi di sana. Implikasinya, tidak semua data dan informasi yang didapatkan melalui internet andal dan valid untuk dijadikan acuan dalam penelitian. Selain itu, sumber informasi di internet mudah berubah, misalnya homepage yang telah berubah atau bahkan sudah tidak ada lagi. Akibatnya, penelitian harus selalu mencermati perubahan tersebut bila mengutip sumber bersangkutan.
Evaluasi informasi untuk kepentingan penelitian. Informasi yang berasal dari internet harus dievaluasi dan dianalisis sesuai dengan tujuan dan metodologi penelitian yang benar. Informasi yang diunduh dari internet harus memenuhi kriteria, sebagai berikut: akurasi (accuracy), otoritas (authority), sirkulasi (currency), jangkauan (coverage), dan obyektivitas (objectivity). Panduan mengenai pemanfaatan informasi kesehatan dari internet dapat didapatkan di situs http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/evaluatinghealthinformation.html.
Berikut adalah contoh beberapa situs yang menyediakan fasilitas jurnal gratis di internet, namun alamat-alamat lebih lengkap dan situs favorit untuk mendapatkan jurnal gratis dapat dilihat pada Stanford Online Library.

MEDLINE
PubMED
Internet Grateful Med
Sumber lain
eMedicine
Medical Matrix
ScHARR Netting the Evidence
Medical World Search
Journal listings atau http://www.pslgroup.com/dg/medjournals.htm
Clinical practice guidelines http://www.guidelines.gov atau http://www.cma.ca/cpgs
HINARI (Health InterNetwork Access to Research Initiative)

Dunia internet memungkinkan perombakan total dalam browsing referensi tulisan ilmiah ma upun penelitian. Teknologi informasi dan telekomunikasi dengan murah dan mudah akan menghilangkan batasan-batasan ruang dan waktu yang selama ini membatasi dunia perpustakaan. Pemanfaatan internet untuk mendukung penelitian kesehatan mempunyai beberapa keunggulan maupun kelemahan, oleh karenanya penulis atau peneliti perlu memperhatikan pedoman-pedoman dalam mengambil bahan / materi internet untuk sumber referensinya.


Referensi:
Hunt, D.L., R. Jaeschke, & K.A. McKibbon. 2000. Users’ Guides to the Medical
Literature: XXI. Using Electronic Health Information Resources in Evidence-Based
Practice. JAMA, 283(14): 1875-1879.
Shortliffe E. 1995. Medical informatics meets medical education. JAMA
273(13):1061,1064-1065.
Tjiptono. F & Santoso, T.B. 2000. Strategi Riset Lewat Internet. Yogyakarta:
Penerbit Andi.

Baca selengkapnya...

Monday, January 15, 2007

Seri 01 - Riset Keperawatan #1

Seri 01 - Riset Keperawatan #1

Riset (penelitian)
Proses pencarian kebenaran yang belum terungkap secara sistematis meliputi pengumpulan dan analisis informasi (data)

Riset Keperawatan
Proses pencarian kebenaran secara sistematis yang didesain untuk meningkatkan pemahaman kita tentang isu-isu yang terkait dengan keperawatan, antara lain: praktik keperawatan, pendidikan keperawatan, dan administrasi keperawatan.

Pengertian yang salah tentang riset:

  • Pengumpulan data atau informasi
  • Studi pustaka / Kajian dokumentasi
  • Penulisan makalah
  • Bekerja menyendiri di laboratorium, perpustakaan & lepas dari kehidupan sehari-hari.

Manfaat riset dalam keperawatan :

  • Memperkuat dasar-dasar keilmuan yang nantinya akan menjadi landasan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen keperawatan
  • Peningkatan kualitas pelayanan keperawatan melalui pemanfaatan hasil penelitian ilmiah
  • Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan pelayanan keperawatan
  • Memahami fenomena secara profesional sehingga dapat menyusun perencanaan, memprediksi hasil, pengambilan keputusan, dan meningkatkan perilaku sehat klien

Praktik Keperawatan Berbasis Temuan Ilmiah (evidence-based practice)

  • Fakta terbaik dari riset diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun asuhan keperawatan
  • Klien yang mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan klien yang hanya mendapatkan intervensi standar (Heater, Beckker, dan Olson, 1988)
  • Sumber hasil riset dari jurnal ilmiah

Sejarah riset keperawatan

Tahap awal : sebelum tahun 1960an

  • Florence Nightingale --> laporan mengenai faktor-faktor yang berdampak pada kesakitan dan kematian prajurit Inggris selama perang Crimean. Dipublikasikan dalam Notes on Nursing (1859).
  • Th 1900an s.d. 1940an --> pengembangan pendidikan tinggi keperawatan
  • Th 1950an --> jurnal Nursing Research terbit
  • Th 1963 --> International Journal of Nursing Studies
  • Th 1969 --> Canadian Journal of Nursing Research

Sejak tahun 1970an

  • Pengembangan teori keperawatan dan isu-isu keperawatan
  • Penerbitan jurnal keperawatan th 1970an: Advances in Nursing Science, Research in Nursing & Health, the Western Journal of Nursing Research, Journal of Advanced Nursing
  • Penerbitan jurnal di th 1980an: Applied Nursing Research, Evidenced Based Medicine
  • Mulai ada perhatian untuk mengaplikasikan temuan riset ke dalam praktik keperawatan
  • Pengembangan lembaga penelitian yang berfokus pada perawatan klien di AS th 1986 (National Center for Nursing Research di bawah National Institutes of Health)
  • Penerbitan jurnal di th 1990an: Qualitative Health Research (1990), Clinical Nursing Research (1991), Clinical Effectiveness in Nursing (1996).
  • Cochrane Collaboration (www.cohrane.co.uk), CINAHL (www.cinahl.com), PubMed (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/) --> direktori rangkuman hasil penelitian (systematic review)
  • Penerbitan Jurnal Keperawatan di Universitas Indonesia (akhir th 1990-an)
  • Di Departemen Kesehatan RI, dukungan terhadap riset keperawatan melalui Riset Pembinaan Tenaga Kesehatan (Risbinakes)
  • Sampai saat ini di Indonesia masih dalam fase stimulasi --> membangkitkan gairah riset keperawatan dan aplikasinya dalam praktik keperawatan

Tahapan perkembangan riset keperawatan (Ross, Mackenzie & Smith, 2003)

  1. Fase stimulasi, bangkitnya kegairahan riset keperawatan
  2. Fase individualistis, perawat secara individual melakukan riset mandiri dengan bimbingan ahli statistik.
  3. Fase penyatuan, pengembangan jejaring (network) peneliti keperawatan
  4. Fase keseimbangan, kolaborasi beberapa program penelitian ilmiah

Ruang lingkup riset keperawatan:

  • Keperawatan medikal bedah
  • Keperawatan maternitas
  • Keperawatan anak
  • Keperawatan jiwa
  • Keperawatan gerontik
  • Keperawatan keluarga
  • Keperawatan komunitas
  • Manajemen Keperawatan
  • Pendidikan Keperawatan

Etika Riset Keperawatan (Loiselle et al., 2004) :

  1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
  2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality)
  3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
  4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)



Baca selengkapnya...

Thursday, October 19, 2006

Menulis Tulisan Ilmiah Berdasarkan Psikologis Pembaca

-- Improving the quality of writing actually improves the quality of thought -- George D. Gopen & Judith A. Swan [1990]
Tulisan-tulisan ilmiah seringkali berat untuk dibaca. Berbeda ketika kita membaca bahan bacaan lainnya seperti koran, majalah populer, atau novel, maka tulisan-tulisan itu dapat kita selesaikan dalam waktu yang singkat dan kepala kita tidak pusing karenanya. Sebagian besar orang berasumsi bahwa kesulitan membaca tulisan ilmiah muncul karena bahan-bahan tersebut bukan merupakan bahan bacaan yang sedang dibutuhkan apalagi tulisan ilmiah memiliki kerumitan konsep dan struktur tersendiri. Membaca tulisan ilmiah memerlukan konsentrasi yang tinggi.

Tujuan utama penulisan ilmiah tidak hanya sekedar menyajikan informasi dan pemikiran belaka, namun lebih kepada aktivitas komunikasi yang dijalankannya. Maksudnya seorang peneliti tidak hanya sekedar memindahkan data temuannya ke dalam kalimat atau paragraf saja. Namun penulis juga harus memperhatikan kondisi psikologis pembaca saat membaca tulisannya. Oleh karena itu penting bagi penulis untuk bisa mempelajari retorika penulisan, linguistik, dan psikologis pembaca.

Sebenarnya tulisan ilmiah dapat lebih mudah dibaca oleh pembaca awam sekali pun dengan jalan menyusun gaya penyampaian dan penampilan yang lebih komunikatif tanpa mengurangi isi dan maknanya. Lalu muncul sebuah pertanyaan, bagaimanakah seharusnya tulisan ilmiah yang informatif dan mudah dibaca oleh pembaca lain? Gopen dan Swan (1990) memberikan beberapa solusi dengan mengembangkan suatu metode penulisan naskah ilmiah berdasarkan pada kondisi psikologis pembaca.

Dugaan Pembaca. Pada dasarnya pembaca tidak hanya membaca pada apa yang ada di depannya, pembaca juga mencoba untuk menginterpretasikan informasi yang muncul dalam tulisan tersebut. Ia mencoba menemukan petunjuk-petunjuk atau simbol-simbol pada struktur kalimat yang dapat mempermudah untuk memahami makna atau substansi tulisan itu.
Penjelasan mengenai struktur dan substansi sebuah kalimat dapat dibandingkan pada format data secara tekstual dan tabulasi. Pembaca cenderung lebih mudah untuk menginterpretasikan pada format data tabulasi. Bentuk tabulasi lebih sederhana dan mudah dipahami, dan suatu hal yang lebih penting bahwa pembaca dapat dengan mudah menginterpretasikan kaitan suatu keadaan (waktu) dengan suatu informasi yang diakibatkan olehnya (suhu). “Keadaan” diletakkan di sebelam kiri dan “informasi” diletakkan di sebelah kanan. Hal ini memberikan dampak keteraturan dalam logika pembaca, pembaca akan mencari informasi yang penting di sebelah kanan tulisan. Informasi akan lebih mudah dan sederhana untuk dipahami pembaca bila informasi tersebut diletakkan pada tempat dimana pembaca cenderung untuk menemukannya.

Fungsi kalimat. Pembaca menduga bahwa setiap bagian tulisan (kalimat, paragraf, seksi) memiliki fungsi tunggal. Ketika setiap bagian memiliki lebih dari satu fungsi, pembaca akan bingung dalam menentukan pokok pikirannya. Maka tulislah setiap kalimat hanya untuk menjelaskan satu pokok pikiran saja.

Arah kalimat. Pembaca biasanya mengerti arah dan maksud kalimat dari kata kerjanya. Apabila kalimat tidak berstruktur dengan baik, hal ini akan membingungkan dan membosankan pembaca, terkadang justru akan menghilangkan sebagian informasi yang ingin kita sampaikan. Oleh karena itu, susunlah kalimat dengan struktur bahasa yang baik dan benar agar pembaca tetap tertarik pada tulisan kita.

Topik. Posisi topik pembahasan biasanya berada pada bagian permulaan kalimat. Pembaca mencari topik kalimat untuk mendapatkan (1) fokus perhatian (orang, tempat, benda, atau konsep yang akan didiskripsikan); (2) mata rantai antara informasi sebelum dan sesudahnya; dan (3) konteks kalimat itu sendiri. Untuk menghindarkan kebingungan pembaca dalam menemukan fokus bahasan, hubungan antar kalimat, atau relevansi tiap kalimat maka letakkanlah ketiganya pada bagian permulaan kalimat.

Tekanan kalimat. Posisi penekanan kalimat berada di akhir sintaksis, misalnya di bagian akhir anak kalimat (clause), akhir kalimat (sentence), atau akhir seksi (section). Pembaca biasanya menduga informasi yang diinginkan berada pada bagian akhir kalimat. Ketika pembaca mendapatkan informasi yang diharapkan, ia akan memberikan perhatian yang lebih besar pada posisi itu. Bila ungkapan penting dari materi tidak tampak pada posisi penekanan kalimat, pembaca tidak akan memperhatikannya. Untuk membantu pembaca mendapatkan interpretasi yang benar, yakinkan bahwa materi yang ditekankan disesuaikan dengan fungsi bagian kalimat di atas.

Kalimat yang mengalir. Pembaca menginterpretasikan kalimat dengan mudah ketika kalimat tersebut mengalir dengan baik, misalnya dari informasi lama ke informasi yang baru atau dari kalimat biasa ke kesimpulan. Untuk membuat kalimat tersebut mengalir dengan baik, hendaknya kita menempatkan informasi lama dalam posisi topik atau fokus bahasan, dan menempatkan informasi baru pada posisi penekanan kalimat.

Kesenjangan logika, Informasi baru yang terdapat pada posisi penekanan kalimat tidak sepenuhnya digunakan sebagai pernyataan untuk menunjukkan adanya kesenjangan logika dalam sebuah kalimat. Pastikan bahwa informasi baru tersebut terdapat dalam posisi penekanan sebagai salah satu bagian dari kesimpulan akhir atau ditulis setelah informasi lama.

Referensi:
Gopen, G.D. & J.A. Swan. (1990). The Science of Scientific Writing. American Scientist. Nov-Dec 1990, Vol. 78; 550-8.


Baca selengkapnya...

Penelitian Kuantitatif Versus Penelitian Kualitatif

Statisticians try to measure IT
Experimentalists try to control IT
Evaluators value IT
Interviewers ask questions about IT
Observers watch IT
Participant observers do IT

-- from Halcolm’s Evaluation Laws


Debat di kalangan peneliti mengenai kebenaran relatifitas antara penelitian kuantitatif dan kualitatif telah berlangsung sejak lama (Patton, 1990). Perdebatan berfokus pada perbedaan landasan filosofis dan paradigma yang digunakan pada kedua metode penelitian tersebut.
Para peneliti pro kuantitatif berorientasi pada logika positivisme yang dipelopori oleh August Comte (abad ke-19). Pandangan positivisme meyakini bahwa hanya pembuktian secara logis-empiris saja yang diterima sebagai satu-satunya kebenaran ilmiah (Lubis, 2004). Mereka berkeyakinan bahwa suatu fenomena tidak terjadi secara kebetulan namun oleh karena adanya sebab-akibat (Loiselle & McGrath, 2004).

Sedangkan peneliti pro kualitatif memiliki keyakinan “anti-positivisme”. Mereka mengkritisi budaya ilmiah yang obyektif, mekanistis, linear dan universal serta pandangan ilmu pengetahuan yang berkesatuan (unified science) dan bebas nilai. Menurut Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), ilmu pengetahuan selalu dimuati oleh asumsi-asumsi lain. Misalnya asumsi tentang realitas juga bersinggungan dengan realitas sosiologis dan epistemologis (Lubis, 2004).

Beberapa peneliti mengatakan bahwa salah satu metode penelitian lebih baik atau lebih ilmiah dibanding metode lainnya. Mereka menganggap mazhab penelitian yang ia anut adalah paling shahih dan tidak dapat diganggu-gugat. Dalam buku Qualitative Data Analysis, Miles dan Huberman (1994), mengutip pernyataan seorang peneliti kuantitatif, Fred Kerlinger, "There's no such thing as qualitative data. Everything is either 1 or 0" (hal. 40). Pada halaman yang sama peneliti lain, D. T. Campbell, memberikan penegasan yang berlawanan dengan Fred Kerlinger, "all research ultimately has a qualitative grounding" (hal. 40). Kedua pernyataan konfrontatif tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ketidakproduktifan yang mendasar (essentially unproductive), karena banyak peneliti lain telah sepakat metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan secara bersamaan. Keduanya dapat saling mengisi keterbatasan masing-masing dan memperkaya perspektif peneliti dalam mengungkapkan fenomena yang diteliti (Streubert, & Carpenter, 1999; Denzin & Lincoln, 1994; Doornbos, 2001). Walaupun keberhasilan dalam mengkombinasikan dua metode penelitian tersebut tergantung pada kemampuan dan pengalaman peneliti (Patton, 1990).

Misalnya, penelitian epidemiologi dan uji klinik bertujuan untuk menguji kemaknaan hipotesis. Peneliti mencoba berpikir secara mekanis dan dalam menggambarkan fenomena penelitian ia menggunakan pola pikir deduksi dan rasional patofisiologi. Implikasi pertanyaan dalam metode penelitian kuantitatif tersebut adalah pertanyaan whether (misal: apakah sebuah intervensi memiliki efek penyembuhan yang bermakna?) dan how much (misal: seberapa besar pengaruh faktor risiko tertentu terhadap kejadian suatu penyakit?) (Battista, Hodge, & Vineis, 1995).
Namun kadangkala peneliti membutuhkan jawaban interpretatif guna menjelaskan fenomena sosial yang abstrak dan tidak mudah diukur. Misal: makna dan pengalaman sakit bagi seseorang atau keluarga, dalam hal ini penelitian kualitatif tidak bisa menggunakan pertanyaan whether atau how much, tetapi akan lebih tepat menjelaskan fenomena dengan pertanyaan apa (what), bagaimana (how) dan mengapa (why) (Sofaer, 1999). Oleh karena itu, penelitian kualitatif lebih sesuai untuk menggali fenomena sosial, emosional, dan pengalaman seseorang dalam konteks pelayanan kesehatan (Giacomini & Cook, 2000)

Menurut Glesne & Peshkin (1992), perbedaan mendasar antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat dijelaskan melalui empat aspek, yaitu: asumsi, tujuan penelitian, pendekatan, dan peran peneliti.

Asumsi. Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial partisipan (subyek penelitian), oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman partisipan (emik). Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit untuk diukur.

Tujuan penelitian. Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan realitas secara kontekstual, interpretasi terhadap fenomena yang menjadi perhatian peneliti dan memahami perspektif partisipan terhadap masalah kesehatan.

Pendekatan. Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.

Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan hipotesis. Perumusan teori berdasarkan data yang telah tersaturasi (grounded theory). Peneliti menggunakan teknik penggambaran (portrayal) secara alamiah terhadap fenomena yang muncul sekaligus dirinya merupakan instrumen penelitian itu sendiri. Penarikan kesimpulan secara induksi dengan menemukan salah satu pola yang berlaku dari pluralitas dan kompleksitas norma. Bahasa penelitian dikemas secara deskriptif.

Peran peneliti. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif). Sedangkan penelitian kualitatif justru memerlukan keberpihakan dan keterlibatan peneliti agar ia dapat memahami (empati) situasi partisipan penelitian secara holistik.

Akhirnya, pilihan metode yang digunakan sangatlah bergantung pada kepentingan peneliti. Kita tidak bisa mengklaim bahwa paradigma penelitian yang kita anut lebih ilmiah dibanding pandangan orang lain. Secara implisit Hukum Evaluasi Halcolm menekankan bahwa pilihan metode yang tepat harus sesuai dengan tujuan yang peneliti inginkan. Selain itu, pilihan metode penelitian perlu mempertimbangkan pengalaman, ketertarikan peneliti, populasi yang akan diteliti, waktu, biaya, tenaga dan sumber daya peneliti lainnya. Agaknya kita perlu sepakat dengan ungkapan Glesne dan Peshkin (1992): different approaches allow us to know and understand different things about the world.

Referensi:
Battista, R.N., M.J. Hodge, & P. Vineis. 1995. Medicine, practice and guidelines: the uneasy juncture of science and art. J. Clin. Epidemiol. 48: 875-80.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. 1994. Entering the field of qualitative research. In N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds), Handbook of Qualitative Research. Thaousand Oaks, CA: Sage Publications.
Doornbos, MM. 2001. The 24-7-52 Job: Family Caregiving for Young Adults With Serious and Persistent Mental Illness. Journal of Family Nursing 7(4): 328-44
Giacomini, M. & D.J. Cook. 2000. A User's Guide to Qualitative Research in Health Care. JAMA. July 26; 284(4):478-82
Glesne, C. & A. Peshkin. 1992. Becoming Qualitative Researchers: an Introduction. White Plains, NY: Longman.
Loiselle, C.G. & McGrath, J.P. 2004. Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Lubis, A. Y. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, Bogor: AkaDemiA.
Miles M, & Huberman M. 1994. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publications.
Patton, M.Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods 2nd Ed. California: Sage Publications.
Sofaer, S. 1999. Qualitative methods: what are they and why use them? Health Serv. Res. 34: 1101-18.
Streubert, H.J. & Carpenter,D.R. 1999. Qualitative Research in Nursing Advancing the Humanistic Inperative 2nd Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott Comp.

Baca selengkapnya...

Wednesday, October 18, 2006

Pengembangan Evidence-Based Nursing Practice di lingkungan rumah sakit

ILUSTRASI :
Sebuah rumah sakit memiliki 650 tenaga perawat dari berbagai tingkat pendidikan. Menurut data tahun 2004, sebaran tingkat pendidikan tenaga perawat di rumah sakit tersebut, masing-masing : SPK sebanyak 320 orang (49,2%), D3 sebanyak 289 orang (44,5%), S1 sebanyak 35 orang (5,4%), dan S2 non keperawatan sebanyak 6 orang (0,9%).

Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan, sehingga kegiatannya banyak dimanfaatkan untuk proses pendidikan berbagai profesi kesehatan. Salah satu kegiatan yang tidak lepas dari pendidikan profesi adalah kegiatan penelitian. Tidak seperti halnya kegiatan ilmiah profesi kesehatan lainnya, Kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah termasuk penelitian keperawatan jarang sekali dilakukan, setidaknya kegiatan ilmiah hanya setahun sekali, itu pun merupakan rentetan acara ulang tahun rumah sakit, misalnya seminar keperawatan. Bahkan apabila dilakukan riset keperawatan di rumah sakit tersebut, hasil penelitian tidak didiseminasikan dan dimanfaatkan untuk pengembangan praktik klinis keperawatan. Kegiatan profesi keperawatan lebih banyak berkonsentrasi pada rutinitas tugas harian mereka.
Kondisi demikian cukup memprihatinkan. Apabila dilihat dari persentase tenaga perawat yang memiliki pendidikan tinggi ternyata cukup banyak (6,3%), tetapi keberadaan mereka tidak begitu berpengaruh dalam memajukan kegiatan ilmiah dan aplikasi intervensi keperawatan berdasarkan fakta empiris yang terkini. Aplikasi inovasi ilmu dan teknologi keperawatan terbaru lebih banyak bersumber dari profesi kedokteran.

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan di bidang kesehatan pada beberapa dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang sangat pesat melampaui perkembangan sebelumnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut akhirnya juga merambah ke dalam dunia keperawatan. Ilmu keperawatan dan pengembangannya melalui riset merupakan dinamika proses yang sangat penting dalam pertumbuhan keperawatan sebagai sebuah profesi. Tujuan dilakukannya riset keperawatan adalah untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang nantinya akan menjadi landasan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen keperawatan (Ross, Mackenzie, & Smith, 2003). Sedangkan praktik keperawatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based nursing) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun asuhan keperawatan (Cullum, 2001).

Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan adalah upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas pembiayaan (cost effectiveness). Meningkatkan kegiatan riset keperawatan dan menerapkan hasilnya dalam praktik keperawatan merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun praktik keperawatan yang lebih efektif dan efisien. Menurut sebuah studi terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan (meta-analysis) yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menjumpai bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan intervensi standar. Selama ini budaya ilmiah di kalangan profesi keperawatan Indonesia masih tertinggal jauh bila dibandingkan negara lain. Perkembangan inovasi dan aplikasi praktik klinik keperawatan di rumah sakit masih banyak mengadopsi hasil penelitian profesi lain.

Profesi perawat adalah sebuah organisasi dan seorang menejer atau pemimpin keperawatan merupakan orang yang memimpin organisasi tersebut. Sebagai pemimpin organisasi mereka dapat leluasa untuk mengkondisikan lingkungan organisasinya sesuai dengan apa yang diinginkan. Menurut Royle et al (2000), pemimpin organisasi merupakan faktor pendorong yang sangat penting dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan prima. Oleh sebab itu, menejer dan pemimpin keperawatan di tingkat pelayanan primer perlu segera mendorong pertumbuhan budaya ilmiah di kalangan perawat agar mereka dapat mempraktikan tindakan keperawatan berdasarkan fakta. Menejer keperawatan dituntut untuk menghapuskan hambatan struktural yang menghalangi kemampuan perawat dalam pengkajian, implementasi, dan evaluasi tindakan keperawatan yang terbaik.

PEMBAHASAN


Penulis mencoba mengusulkan beberapa solusi terhadap permasalahan di atas, terutama di dalam lingkup sebuah rumah sakit. Pertama, penulis menganalogikan lingkungan organisasi keperawatan sebagai sebuah organisasi yang masih berkembang sehingga memerlukan upaya pemberdayaan melalui capacity building. Dan solusi kedua adalah menyediakan fasilitas perpustakaan yang representatif.

Capacity building umumnya mengacu pada "suatu proses individu dan pengembangan kelembagaan yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuannya dengan memanfaatkan hasil riset yang konstruktif" (Throstle, 1992). Terminologi ini seringkali digunakan untuk memulai sebuah kegiatan atau proyek yang didanai oleh negara donor di negara-negara berkembang. Capacity building biasanya dimanfaatkan dalam intervensi awal pemberdayaan masyarakat, kelompok, atau institusi yang masih belum mapan.

Kegiatan yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi keperawatan, yaitu : (1) membentuk komite riset; (2) menciptakan lingkungan kerja yang ilmiah; (3) kebijakan kegiatan riset dan pemanfaatan hasilnya; dan (4) pendidikan berkelanjutan. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembentukan komite riset yang terdiri dari menejer dan tenaga perawat yang berpendidikan S1 dan S2. Komite riset bertugas untuk menentukan kebijakan kegiatan ilmiah, perencanaan program kegiatan ilmiah, menjaring sponsor penelitian, dan sebagai peer reviewer untuk menguji kelayakan penelitian.

Langkah kedua adalah menciptakan lingkungan kerja ilmiah. Untuk menciptakan lingkungan kerja keperawatan yang ilmiah (research-based culture), tahapan kegiatan yang perlu dilakukan adalah : (1) peningkatan pengetahuan; (2) diseminasi informasi; (3) mengintegrasikan hasil riset dengan fakta atau pengalaman sebelumnya; (4) mengaplikasikan hasil riset dalam praktik klinik keperawatan; (5) dan mengevaluasi praktik klinik keperawatan (Health Research Board, 2000 ; World Health Organisation, 1999).

Untuk meningkatkan pengetahuan perawat, menejer menyusun kegiatan diseminasi secara berkala yang mempresentasikan hasil-hasil penelitian tim peneliti atau publikasi dari berbagai jurnal keperawatan. Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi. Faktor utama yang dapat mendukung perkembangan praktik keperawatan prima adalah praktik keperawatan klinik maupun lapangan yang didasarkan dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian. Jennet dan Premkumar (1996), mengingatkan bahwa setiap riset yang telah dilakukan perlu dipublikasikan dan didiseminasikan. Hasil penelitian akan memperkuat atau mengesampingkan asumsi-asumsi yang telah ada sebelumnya dengan informasi yang lebih ilmiah. Manfaat yang paling penting bahwa hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan dan praktik klinis keperawatan (Dobbins, Ciliska,& Dicenso, 1998). Budaya melakukan penelitian dalam dunia keperawatan akan menghapuskan stagnansi perkembangan ilmu keperawatan serta munculnya berbagai inovasi ilmiah yang akan membantu mencapai tujuan keperawatan lebih efisien dan efektif.

Langkah ketiga yaitu menyusun kebijakan mengenai kegiatan riset keperawatan di lingkungan rumah sakit dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Komite riset menyusun kebijakan dari berbagai aspek penelitian, misalnya : pengembangan strategi riset, penyusunan buku panduan penelitian, dan mengusulkan pembiayaan penelitian dari rumah sakit atau mengembangkan kerjasama dengan sponsor penelitian. Selanjutnya komite riset menyusun mekanisme pemanfaatan hasil riset sampai menjadi Standard Operating Procedure (SOP). Pemanfaatan riset keperawatan di rumah sakit tergantung dari organisasi keperawatan, anggota organisasi serta lingkungan kerja di sekitarnya (Dobbins et al., 1998). Karakteristik organisasi berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan memanfaatkan hasil riset, pengambilan keputusan, dukungan administrasi, dan iklim riset di lingkungan kerja (Dobbins et al., 1998). Namun menurut Funk et al., (1991), peran faktor organisasi lebih penting dibanding individu maupun faktor lingkungan. Faktor organisasi terutama untuk mengkondisikan lingkungan perawat dalam menciptakan budaya ilmiah (Steelman, 1996). Untuk itu, menejer keperawatan dapat berpedoman pada model Iowa untuk memanfaatkan hasil riset ke dalam praktik klinik keperawatan.


Gambar 1. Penerapan Hasil Penelitian untuk Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Keperawatan (MODEL IOWA)



Sumber : Titler, M.G. et al. (2001)

Langkah keempat adalah pendidikan berkelanjutan terutama untuk meningkatkan pengetahuan perawat mengenai metodologi penelitian, statistik, menejemen informasi, teknik pemanfaatan hasil riset, dan penilaian kritis jurnal keperawatan. Dengan kemampuan tersebut diharapkan para perawat dapat melakukan riset sesuai bidang tugasnya.

Solusi kedua adalah menyediakan fasilitas ilmiah misalnya menyediaan perpustakaan termasuk penyediaan literatur maupun internet. Fasilitas perpustakaan tersebut merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pemanfaatan hasil-hasil riset keperawatan. Penelitian membuktikan bahwa rumah sakit yang memiliki fasilitas perpustakaan dan iklim kerja ilmiah, perawat-perawat mereka memiliki kinerja yang lebih produktif dibandingkan rumah sakit yang lain (Dobbins et al., 1998; Royle et al., 1997).

PENUTUP

Menejer atau pemimpin keperawatan perlu mempengaruhi faktor organisasi keperawatan yang akan berdampak pada budaya pemanfaatan riset dalam praktik klinik keperawatan. Praktik yang bersifat evidence-based harus dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan organisatoris pada semua tingkat agar langkah-langkah tersebut dapat diadopsi dengan sukses (McGuire, 1990). Budaya ilmiah juga dapat dimanfaatkan sebagai strategi akuntabilitas publik, justifikasi tindakan keperawatan, dan bahan pengambilan keputusan. Kesadaran menejer keperawatan terhadap nilai riset yang potensial akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi organisasi, misalnya kinerja keperawatan yang meningkat dan out come klien yang optimal (Titler, Kleiber,& Steelman, 1994).

Kemapanan budaya riset keperawatan di beberapa negara mengalami beberapa tahap perkembangan. Misalnya di Amerika Serikat perkembangan riset mengalami empat fase, yaitu : (1) fase stimulasi, (2) fase individualistis, (3) fase penyatuan, dan (4) fase keseimbangan (Ross, Mackenzie & Smith, 2003). Fase stimulasi ditandai dengan bangkitnya kegairahan riset keperawatan. Perawat secara individual melakukan riset mandiri dengan bimbingan ahli statistik merupakan cirri dari fase invidualistis, namun riset mandiri tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi riset keperawatan. Dalam fase penyatuan, beberapa peneliti keperawatan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu keperawatan dimana beberapa penelitian meneliti fenomena yang sama, misalnya penelitian tentang nyeri atau stres. Ciri dari fase ini adalah pengembangan infrastruktur riset keperawatan (network yang terorganisir). Dan pada fase terakhir, fase keseimbangan, munculnya kolaborasi beberapa program penelitian ilmiah yang mendukung infrastruktur yang telah terbangun dengan baik.

KEPUSTAKAAN :

Cullum, N. (2001). Evaluation of studies of treatment or prevention interventions. Part 2: applying the results of studies to your patients. Evidence-Based Nursing, 4 : 7-8. http://ebn.bmjjournals.com/cgi/content/full/4/1/7 [diakses tanggal 2 Desember 2004]
Dobbins, M., Ciliska, D., & DiCenso, A. (1998). Dissemination and use of research evidence for policy and practice: A framework for developing, implementing and evaluating strategies. A report prepared for the Dissemination and Utilization Model Advisory Committee of the Canadian Nurses' Association and Health Canada.
Funk, S. G., Champagne, M. T., Weise, R. A., & Tornquist, E. (1991). Barriers to using nursing research findings in practice: The clinician's perspective. Applied Nursing Research, 4(2), 90-95.
Health Research Board (2000) Making Knowledge Work for Health: towards a strategy for research and innovation for health. Dublin: Health Research Board.
Heater BS, Becker AM, & Olson RK, Nursing interventions and patient outcomes: A meta-analysis of studies, Nursing Research, 37(5) 1988, 303-307
Jennet, P. A., & Premkumar, K. (1996). Technology-based dissemination. Canadian Journal of Public Health, 87(6), S5-S10.
McGuire, J. M. (1990). Putting nursing research findings into practice: Research utilization as an aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing, 15(2), 614-620.
Ross F, Mackenzie A, & Smith E, Identifying Research Priorities for Nursing and Midwifery Service Delivery and Organisation : A study undertaken for the Nursing and Midwifery Subgroup of the National Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery and Organisation R & D (NCCSDO), London: NCCSDO, 2003
Royle, J. A., Blythe, J., DiCenso, A., Baumann, A., & Fitzgerald, D. (1997). Do nurses have the information resources and skills for research utilization? Canadian Journal of Nursing Administration, 10(3), 9-30.
Royle, J., J. Blythe, D. Ciliska, & D. Ing. (2000). The Organizational Environment and Evidence-Based Nursing. Canadian Journal of Nursing Leadership, Jan/Feb 2000; 13 (1) http://www.nursingleadership.net/NL131/NL131JRoyleetal.html [diakses tanggal 2 Desember 2004].
Steelman, V. M. (1996). Successful strategies for implementing ACHPR clinical practice guidelines. In K. Kelly & M. Mass (Eds.). Outcomes of effective management practice (SONA 8-Series on Nursing Administration). Newbury Park: Sage Publications.
Throstle, J. (1992). Research capacity building in international health: Definitions, evaluations, and strategies for success. Social Science and Medicine, 35(11), 1321-1324.
Titler, M. G., Kleiber, C., & Steelman, V. (1994). Infusing research into practice to promote quality care. Nursing Research, 43(5), 307-318.
Titler MG, Kleiber C, Rakel B, Budreau G, Everett LQ, Steelman V, Buckwalter KC, Tripp-Reimer T, & Goode C. (2001). The Iowa Model of Evidence-Based Practice to Promote Quality Care, Critical Care Nursing Clinics of North America, 13(4), 497-509.
World Health Organisation (1999) Health 21-Health for All in the 21st Century. A Introduction. Copenhagen: World Health Organisation.

Baca selengkapnya...

Prinsip-prinsip Etika Penelitian Ilmiah

Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian.

Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob, 2004).
Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat empat prinsip utama yang perlu dipahami oleh pembaca, yaitu: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) (Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004). Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang terdiri dari: (1) penjelasan manfaat penelitian; (2) penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan; (3) penjelasan manfaat yang akan didapatkan; (4) persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subyek berkaitan dengan prosedur penelitian; (5) persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja; dan (6) jaminan anonimitas dan kerahasiaan. Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala & Siribaddana, 2004). Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian (Syse, 2000).Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.
Referensi:
Jacob, T. 2004. Etika Penelitian Ilmiah. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 60-63.
Loiselle, C.G., Profetto-McGrath, J., Polit, D.F., & Beck, C.T. 2004. Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Milton, C.L. 1999. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. Nursing Science Quarterly, 12(1): 20-25.
Sastrapratedja, M. 2004. Landasan Moral Etika Penelitian. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 50-59.
Sumathipala, A. & Siribaddana, S. 2004. Revisiting “Freely Given Informed Consent” in Relation to the Developing World: Role of an Ombudsman. The American Journal of Bioethics, 4(3): W1–W7.
Syse, A. 2000. Norway: Valid (as oppose to informed) consent. The Lancet 356:1347–1348.

Baca selengkapnya...

Memperkenalkan Metode Survei Cepat

Penelitian survei merupakan upaya pengumpulan informasi dari sebagian populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Metode ini bertitik tolak pada konsep, hipotesis, dan teori yang sudah mapan sehingga tidak akan memunculkan teori yang baru. Penelitian survei memiliki sifat verifikasi atau pengecekan terhadap teori yang sudah ada (Mantra, 2001). Dalam perjalanannya, survei biasa digunakan untuk mengevaluasi berbagai program kesehatan (Depkes, 1998) maupun menginvestigasi berbagai status kesehatan dan penyakit yang actual di masyarakat (Frerichs & Shaheen, 2001).

Penelitian survei merupakan perangkat penelitian yang murah dan cepat sehingga informasi yang dibutuhkan dapat dihasilkan secara akurat dan tepat waktu. Bentuk kuesionernya pun sederhana dan relatif mudah sehingga tidak memerlukan pelatihan secara khusus (Stone, 1993). Selain murah dan cepat, keunggulan lainnya adalah penelitian survei dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi secara sistematis mengenai berbagai hal, misalnya: insidensi penyakit, identifikasi faktor-faktor etiologi penyakit, investigasi kualitas hidup manusia dan perilaku masyarakat (Eaden, Mayberry & Mayberry, 1999). Agar dapat memberikan data yang lebih akurat, pengembangan kuesioner perlu memperhatikan faktor validitas dan reliabilitas (Andrews, 1984; Agreus et al., 1993)World Health Organization (WHO) telah mengembang-kan satu teknik survei yang cepat dan murah untuk mengevaluasi keberhasilan program imunisasi dan program kesehatan lainnya. Teknik survei ini dikenal sebagai metode survei cepat (Rapid Survey Method). Gagasan metode survei cepat sesungguhnya pertama kali muncul pada tahun 1965. Metode ini digunakan untuk membantu dinas kesehatan daerah mempelajari status imunisasi balita di wilayahnya (Serfling & Sherman, 1965). Tujuh tahun kemudian, metode Serfling dan Sherman dimodifikasi oleh Henderson dan koleganya untuk menyediakan informasi berbasis komunitas bagi pelaksanaan program eradikasi cacar di Afrika Barat (Henderson et al., 1973). Selanjutnya program pengembangan imunisasi (Expanded Program of Immunization/EPI) WHO menggunakan dan mengembangkan metode survei cepat lebih lanjut. Hasil pengembangannya adalah metode survei cepat dengan rancangan sampel klaster dua tahap (two-stage cluster survey). Tahap pertama dilakukan pemilihan 30 klaster secara probability proportionate to size (PPS) atau menggunakan teknik probabilitas yang proporsional terhadap besar klaster. Tahap kedua dilakukan pemilihan sampel 7 anak dari setiap klaster sehingga dapat ditentukan besar sampel sejumlah 210 anak. Anak pertama dari tujuh anak tersebut dipilih secara acak sederhana (simple random) dan selanjutnya enam anak lainnya dipilih dari rumah terdekat. Survei sederhana ini selanjutnya dikenal sebagai survei "30 x 7" (Depkes, 1998). Penjelasan mengenai prosedur sampling dapat Anda dipelajari dalam buku Ariawan (1996).Pada tahun 1985, Lemeshow dan Robinson ditugaskan WHO untuk menyusun tinjauan statistic metode survei EPI 30x7. Tulisan tersebut merupakan artikel yang dipublikasikan pertama kali oleh ahli statistik yang memberikan jastifikasi pada metodologi survei cepat (Lemeshow & Robinson, 1985). UC Berkeley dan University of Hawaii melalui konsorsium bersama UCLA bekerja sama dalam proyek pengembangan pelayanan kesehatan primer di Burma (sekarang Myanmar). Pada saat itu Frerichs berpendapat bahwa penyelesaian laporan mengenai masalah kesehatan masyarakat masih terlalu lama, sehingga Frerichs mengembangkan survei cepat dengan memanfaatkan mikro komputer dan kemungkinan aplikasi metode survei ini pada masalah kesehatan lainnya (Frerichs, 1989; Frerichs RR, & Tar Tar, 1989). Aplikasi komputer tersebut dapat mempercepat penyelesaian laporan survei kurang dari satu bulan. Ariawan dan Frerichs pada tahun 1994 selanjutnya mengembangkan perangkat lunak CSURVEI yang dapat digunakan untuk merancang sampel pada survei cepat (Ariawan & Frerichs, 1994). Center for Disease Control (1994) juga telah menambahkan modul CSAMPLE pada program EPI-Info untuk keperluan analisis data survei cepat. Semua pengembangan metode survei cepat tersebut semakin mempermudah pelaksanaan survei cepat dan meningkatkan akurasi hasilnya (Dean et al., 1994).Pengembangan kompatibelitas program EPI dan metode survei cepat terhadap permasalahan kesehatan secara umum dilakukan secara terus menerus, terutama tinjauan dari sudut statistiknya. Bennett dkk. (1991), mempublikasikan artikel mengenai survei klaster dua tahap sebagai pengembangan dari publikasi Frerichs (1989) yang menguraikan estimasi rasio sebagai landasan statistik metode survei cepat. Pada tahun-tahun awal pengembangannya, metode survei cepat difokuskan di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan infrastruktur informasi kesehatan masyarakat. Frerichs dan Shaheen pada tahun 1991, selanjutnya telah mempublikasikan implementasi metode survei cepat di Amerika Serikat. Frerichs dan Shaheen melakukan tiga revisi, yaitu: (1) mengaplikasikan metode survei cepat kepada sukarelawan dan enumerator yang bekerjasama dalam melakukan sensus di masyarakat; (2) tujuh responden pada tahap kedua dipilih secara acak, hal ini agak berbeda dengan metode EPI dimana prosedur acak hanya dilakukan pada responden pertama sedangkan enam responden lainnya dipilih dari rumah-rumah di sekitarnya; dan (3) metode sampling memiliki estimasi varians yang lebih kecil dibanding metode EPI, hal tersebut ditunjukkan dari estimasi interval kepercayaan yang lebih sempit.Sebagai metode pengumpulan informasi yang berasal dari masyarakat (population based information), metode survei cepat memiliki beberapa ciri khas, yaitu: 1. Dipergunakan untuk mengukur kejadian yang sering terjadi di masyarakat.2. Pengambilan sampel secara klaster dua tahap, dimana untuk tiap wilayah diambil sebanyak 30 klaster dan pada masing-masing klaster diambil sebanyak 7 dan dengan 10 responden.3. Jumlah pertanyaan hanya dibatasi 20 sampai dengan 30 item pertanyaan saja.4. Rancangan sampel, pemasukan, pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan komputer (program CSURVEY dan CSAMPLE yang menggunakan asumsi klaster dua tahap).5. Waktu pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan hanya berkisar 2-3 minggu saja.6. Hasil survei disajikan dengan menggunakan teknik statistik yang sederhana dengan tetap memperhatikan kaidah statistik yang berlaku.Selanjutnya, untuk memberikan pembelajaran mengenai metode survei cepat, Jurnal Teknologi Kesehatan pada volume ini menghadirkan laporan hasil penilaian cepat (rapid health assessment) status kesehatan masyarakat pasca gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul yang menggunakan metode survei cepat.
Referensi:
Ariawan, I. 1996. Tinjauan Statistik Metode Survei Cepat. Jakarta: FKM-UI dan Pusdakes Depkes RI.
Ariawan, I & Frerichs, R. 1994. CSurvey version 1.2 User’s Manual. Depok- UCLA: Department of Biostatistics Faculty of Public Health University of Indonesia – Fogarty International HIV/AIDS Training Program.
Dean, A.G., Dean, J.A., Coulombier, D., Brendel, K.A., Smith, D.C., Burton, A.H., Dicker, R.C., Sullivan, K., Fagan, R.F., dan Arner, T.G. 1996. Epi Info Version 6: a Wordprocessing, Database, and Statistics Program for Public Health on IBM-compatible Microcomputers. Atlanta: Center for Disease Control and Prevention.
Departemen Kesehatan RI. 1998. Modul Metode Servei Cepat untuk Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotamadya (Edisi kedua). Jakarta: Pusat Data Kesehatan.
Eaden, J., Mayberry, M.K., & Mayberry, J.F. 1999. Questionnaires: the use and abuse of social survey methods in medical research. Postgrad Med J, 75:397–400.
Mantra, I.B. 2001. Langkah-langkah Penelitian Survai Usulan Penelitian dan Laporan Penelitian. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) – UGM.
Serfling RE, Sherman lL, Attribute Sampling Methods for Local Health Departments, Publication No. 1230, U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Washington, DC, 1965, 178 pp.
Stone DH. 1993. Design a questionnaire. BMJ, 307:1264–6.
Henderson RH et al. 1973. Assessment of vaccination coverage, vaccination scar rates, and smallpox scarring in five areas of West Africa. Bull World Health Organ 48(2): 183-194.
Lemeshow, S. & Robinson, D. 1985. Surveys to measure programme coverage and impact: a review of the methodology used by the Expanded Programme on Immunization. World Health Statistics Quarterly, 38: 65-75.
Frerichs, R.R. & Tar Tar, K. 1989. Computer-assisted rapid surveys in developing countries. Public Health Reports, 104(1): 14-23.
Frerichs, R.R. 1989. Simple analytic procedures for rapid microcomputer-assisted surveys in developing countries. Public Health Reports,104(1): 24-35.
Bennett, S., Woods, T., Liyanage, W.M., & Smith, D.L. 1991. A simplified general method for cluster-sample surveys of health in developing countries. World Health Statistics Quarterly, 44(3): 98-106.
Frerichs, R.R. & Shaheen, M.A. 2001. Small-community-based surveys. Annu Rev Public Health, 22: 231-47.
Andrews, F.M. 1984. Construct validity and error components of survey measures. Public Opin Q: 409–442.
Agreus, L., Svardsudd, K., Nyren, O. & Tibblin, G. 1993. Responsibility and validity of a postal questionnaire. The abdominal symptom study. Scand J Primary Health Care, 11:252–62.

Download aplikasi program CSURVEY : http://www.ph.ucla.edu/epi/csurvey.html

Baca selengkapnya...

Memanfaatkan Hasil Penelitian dalam Pelayanan Kesehatan

Ilmu pengetahuan di bidang kesehatan pada beberapa dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang sangat pesat melampaui perkembangan sebelumnya. Derivasi ilmu-ilmu kesehatan dan pengembangannya melalui riset merupakan dinamika proses yang sangat penting dalam pertumbuhan masing-masing profesi kesehatan. Tujuan dilakukannya riset kesehatan adalah untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang nantinya akan menjadi landasan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen pelayanan kesehatan (Ross, Mackenzie, & Smith, 2003). Sedangkan praktik pelayanan kesehatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based practice) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun pelayanan kesehatan (Cullum, 2001).

Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan adalah upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas biaya dan manfaat (cost-benefit effectiveness). Meningkatkan kegiatan riset kesehatan dan menerapkan hasilnya dalam praktik pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien. Menurut sebuah studi meta-analysis terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menjumpai bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki luaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan intervensi standar. Sudah saatnya kini, praktisi kesehatan di tingkat pelayanan primer maupun dunia pendidikan kesehatan perlu segera mendorong pertumbuhan budaya ilmiah di lingkungannya agar mereka dapat mempraktikan hasil berbagai penelitian. Berkaitan perihal di atas, penulis mencoba memberikan contoh upaya pengembangan budaya pemanfaatan hasil-hasil penelitian dalam pelayanan keperawatan terutama di dalam lingkup sebuah rumah sakit. Pertama, penulis menganalogikan lingkungan organisasi keperawatan sebagai sebuah organisasi yang masih berkembang sehingga memerlukan upaya pemberdayaan melalui capacity building. Dan kedua adalah menyediakan fasilitas perpustakaan yang representatif. Capacity building umumnya mengacu pada "suatu proses individu dan pengembangan kelembagaan yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuannya dengan memanfaatkan hasil riset yang konstruktif" (Throstle, 1992). Terminologi ini seringkali digunakan untuk memulai sebuah kegiatan atau proyek yang didanai oleh negara donor di negara-negara berkembang. Capacity building biasanya dimanfaatkan dalam intervensi awal pemberdayaan masyarakat, kelompok, atau institusi yang masih belum mapan. Kegiatan yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi keperawatan, yaitu : (1) membentuk komite riset; (2) menciptakan lingkungan kerja yang ilmiah; (3) kebijakan kegiatan riset dan pemanfaatan hasilnya; dan (4) pendidikan berkelanjutan. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembentukan komite riset yang terdiri dari menejer dan tenaga perawat yang berpendidikan S1 dan S2. Komite riset bertugas untuk menentukan kebijakan kegiatan ilmiah, perencanaan program kegiatan ilmiah, menjaring sponsor penelitian, dan bertindak sebagai peer reviewer untuk menguji kelayakan penelitian. Langkah kedua adalah menciptakan lingkungan kerja ilmiah. Untuk menciptakan lingkungan kerja keperawatan yang ilmiah (research-based culture), tahapan kegiatan yang perlu dilakukan adalah : (1) peningkatan pengetahuan; (2) diseminasi informasi; (3) mengintegrasikan hasil riset dengan fakta atau pengalaman sebelumnya; (4) mengaplikasikan hasil riset dalam praktik klinik keperawatan; (5) dan mengevaluasi praktik klinik keperawatan (Health Research Board, 2000 ; World Health Organisation, 1999). Untuk meningkatkan pengetahuan perawat, menejer menyusun kegiatan diseminasi secara berkala yang mempresentasikan hasil-hasil penelitian tim peneliti atau publikasi dari berbagai jurnal keperawatan (daftar alamat situs jurnal kesehatan terlampir dalam suplemen). Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi. Faktor utama yang dapat mendukung perkembangan praktik keperawatan prima adalah praktik keperawatan klinik maupun lapangan yang didasarkan dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian. Jennet dan Premkumar (1996), mengingatkan bahwa setiap riset yang telah dilakukan perlu dipublikasikan dan didiseminasikan. Hasil penelitian akan memperkuat atau mengesampingkan asumsi-asumsi yang telah ada sebelumnya dengan informasi yang lebih ilmiah. Manfaat yang paling penting bahwa hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan dan praktik klinis keperawatan (Dobbins, Ciliska,& Dicenso, 1998). Budaya melakukan penelitian dalam dunia keperawatan akan menghapuskan stagnansi perkembangan ilmu keperawatan serta munculnya berbagai inovasi ilmiah yang akan membantu mencapai tujuan keperawatan lebih efisien dan efektif. Langkah ketiga yaitu menyusun kebijakan mengenai kegiatan riset keperawatan di lingkungan rumah sakit dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Komite riset menyusun kebijakan dari berbagai aspek penelitian, misalnya: pengembangan strategi riset, penyusunan buku panduan penelitian, dan mengusulkan pembiayaan penelitian dari rumah sakit atau mengembangkan kerjasama dengan sponsor penelitian. Selanjutnya komite riset menyusun mekanisme pemanfaatan hasil riset sampai menjadi Standard Operating Procedure (SOP). Pemanfaatan riset keperawatan di rumah sakit tergantung dari organisasi keperawatan, anggota organisasi serta lingkungan kerja di sekitarnya (Dobbins et al., 1998). Karakteristik organisasi berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan memanfaatkan hasil riset, pengambilan keputusan, dukungan administrasi, dan iklim riset di lingkungan kerja (Dobbins et al., 1998). Namun menurut Funk et al., (1991), peran faktor organisasi lebih penting dibanding individu maupun faktor lingkungan. Faktor organisasi terutama untuk mengkondisikan lingkungan perawat dalam menciptakan budaya ilmiah (Steelman, 1996). Untuk itu, menejer keperawatan dapat berpedoman pada model Iowa untuk memanfaatkan hasil riset ke dalam praktik klinik keperawatan.Langkah keempat adalah pendidikan berkelanjutan terutama untuk meningkatkan pengetahuan perawat mengenai metodologi penelitian, statistik, menejemen informasi, teknik pemanfaatan hasil riset, dan penilaian kritis jurnal keperawatan. Dengan kemampuan tersebut diharapkan para perawat dapat melakukan riset sesuai bidang tugasnya.Solusi kedua adalah menyediakan fasilitas ilmiah misalnya menyediaan perpustakaan termasuk penyediaan literatur maupun internet. Fasilitas perpustakaan tersebut merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pemanfaatan hasil-hasil riset keperawatan. Penelitian membuktikan bahwa rumah sakit yang memiliki fasilitas perpustakaan dan iklim kerja ilmiah, perawat-perawat mereka memiliki kinerja yang lebih produktif dibandingkan rumah sakit yang lain (Dobbins et al., 1998; Royle et al., 1997).Menejer atau pemimpin keperawatan perlu mempengaruhi faktor organisasi keperawatan yang akan berdampak pada budaya pemanfaatan riset dalam praktik klinik keperawatan. Praktik yang bersifat evidence-based harus dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan organisatoris pada semua tingkat agar langkah-langkah tersebut dapat diadopsi dengan sukses (McGuire, 1990). Budaya ilmiah juga dapat dimanfaatkan sebagai strategi akuntabilitas publik, justifikasi tindakan keperawatan, dan bahan pengambilan keputusan. Kesadaran menejer keperawatan terhadap nilai riset yang potensial akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi organisasi, misalnya kinerja keperawatan yang meningkat dan out come klien yang optimal (Titler, Kleiber,& Steelman, 1994).Kemapanan budaya riset keperawatan di beberapa negara mengalami beberapa tahap perkembangan. Misalnya di Amerika Serikat perkembangan riset mengalami empat fase, yaitu : (1) fase stimulasi, (2) fase individualistis, (3) fase penyatuan, dan (4) fase keseimbangan (Ross, Mackenzie & Smith, 2003). Fase stimulasi ditandai dengan bangkitnya kegairahan riset keperawatan. Perawat secara individual melakukan riset mandiri dengan bimbingan ahli statistik merupakan cirri dari fase invidualistis, namun riset mandiri tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi riset keperawatan. Dalam fase penyatuan, beberapa peneliti keperawatan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu keperawatan dimana beberapa penelitian meneliti fenomena yang sama, misalnya penelitian tentang nyeri atau stres. Ciri dari fase ini adalah pengembangan infrastruktur riset keperawatan (network yang terorganisir). Dan pada fase terakhir, fase keseimbangan, munculnya kolaborasi beberapa program penelitian ilmiah yang mendukung infrastruktur yang telah terbangun dengan baik.

Referensi:
Cullum, N. (2001). Evaluation of studies of treatment or prevention interventions. Part 2: applying the results of studies to your patients. Evidence-Based Nursing, 4 : 7-8. http://ebn.bmjjournals.com/cgi/content/full/4/1/7 [diakses tanggal 2 Desember 2004]
Dobbins, M., Ciliska, D., & DiCenso, A. (1998). Dissemination and use of research evidence for policy and practice: A framework for developing, implementing and evaluating strategies. A report prepared for the Dissemination and Utilization Model Advisory Committee of the Canadian Nurses' Association and Health Canada.
Funk, S. G., Champagne, M. T., Weise, R. A., & Tornquist, E. (1991). Barriers to using nursing research findings in practice: The clinician's perspective. Applied Nursing Research, 4(2), 90-95.
Health Research Board (2000) Making Knowledge Work for Health: towards a strategy for research and innovation for health. Dublin: Health Research Board.Heater BS, Becker AM, & Olson RK, Nursing interventions and patient outcomes: A meta-analysis of studies, Nursing Research, 37(5) 1988, 303-307
Jennet, P. A., & Premkumar, K. (1996). Technology-based dissemination. Canadian Journal of Public Health, 87(6), S5-S10.McGuire, J. M. (1990). Putting nursing research findings into practice: Research utilization as an aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing, 15(2), 614-620.
Ross F, Mackenzie A, & Smith E, Identifying Research Priorities for Nursing and Midwifery Service Delivery and Organisation : A study undertaken for the Nursing and Midwifery Subgroup of the National Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery and Organisation R & D (NCCSDO), London: NCCSDO, 2003
Royle, J. A., Blythe, J., DiCenso, A., Baumann, A., & Fitzgerald, D. (1997). Do nurses have the information resources and skills for research utilization? Canadian Journal of Nursing Administration, 10(3), 9-30.
Royle, J., J. Blythe, D. Ciliska, & D. Ing. (2000). The Organizational Environment and Evidence-Based Nursing. Canadian Journal of Nursing Leadership, Jan/Feb 2000; 13 (1) http://www.nursingleadership.net/NL131/NL131JRoy-leetal.html [diakses tanggal 2 Desember 2004].
Steelman, V. M. (1996). Successful strategies for implementing ACHPR clinical practice guidelines. In K. Kelly & M. Mass (Eds.). Outcomes of effective management practice (SONA 8-Series on Nursing Administration). Newbury Park: Sage Publications.
Throstle, J. (1992). Research capacity building in international health: Definitions, evaluations, and strategies for success. Social Science and Medicine, 35(11), 1321-1324.
Titler, M. G., Kleiber, C., & Steelman, V. (1994). Infusing research into practice to promote quality care. Nursing Research, 43(5), 307-318.
Titler MG, Kleiber C, Rakel B, Budreau G, Everett LQ, Steelman V, Buckwalter KC, Tripp-Reimer T, & Goode C. (2001). The Iowa Model of Evidence-Based Practice to Promote Quality Care, Critical Care Nursing Clinics of North America, 13(4), 497-509.
World Health Organisation (1999) Health 21-Health for All in the 21st Century. A Introduction. Copenhagen: World Health Organisation.

Baca selengkapnya...