Wednesday, October 18, 2006

Memanfaatkan Hasil Penelitian dalam Pelayanan Kesehatan

Ilmu pengetahuan di bidang kesehatan pada beberapa dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang sangat pesat melampaui perkembangan sebelumnya. Derivasi ilmu-ilmu kesehatan dan pengembangannya melalui riset merupakan dinamika proses yang sangat penting dalam pertumbuhan masing-masing profesi kesehatan. Tujuan dilakukannya riset kesehatan adalah untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang nantinya akan menjadi landasan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen pelayanan kesehatan (Ross, Mackenzie, & Smith, 2003). Sedangkan praktik pelayanan kesehatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based practice) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun pelayanan kesehatan (Cullum, 2001).

Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan adalah upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas biaya dan manfaat (cost-benefit effectiveness). Meningkatkan kegiatan riset kesehatan dan menerapkan hasilnya dalam praktik pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien. Menurut sebuah studi meta-analysis terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menjumpai bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki luaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan intervensi standar. Sudah saatnya kini, praktisi kesehatan di tingkat pelayanan primer maupun dunia pendidikan kesehatan perlu segera mendorong pertumbuhan budaya ilmiah di lingkungannya agar mereka dapat mempraktikan hasil berbagai penelitian. Berkaitan perihal di atas, penulis mencoba memberikan contoh upaya pengembangan budaya pemanfaatan hasil-hasil penelitian dalam pelayanan keperawatan terutama di dalam lingkup sebuah rumah sakit. Pertama, penulis menganalogikan lingkungan organisasi keperawatan sebagai sebuah organisasi yang masih berkembang sehingga memerlukan upaya pemberdayaan melalui capacity building. Dan kedua adalah menyediakan fasilitas perpustakaan yang representatif. Capacity building umumnya mengacu pada "suatu proses individu dan pengembangan kelembagaan yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuannya dengan memanfaatkan hasil riset yang konstruktif" (Throstle, 1992). Terminologi ini seringkali digunakan untuk memulai sebuah kegiatan atau proyek yang didanai oleh negara donor di negara-negara berkembang. Capacity building biasanya dimanfaatkan dalam intervensi awal pemberdayaan masyarakat, kelompok, atau institusi yang masih belum mapan. Kegiatan yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi keperawatan, yaitu : (1) membentuk komite riset; (2) menciptakan lingkungan kerja yang ilmiah; (3) kebijakan kegiatan riset dan pemanfaatan hasilnya; dan (4) pendidikan berkelanjutan. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembentukan komite riset yang terdiri dari menejer dan tenaga perawat yang berpendidikan S1 dan S2. Komite riset bertugas untuk menentukan kebijakan kegiatan ilmiah, perencanaan program kegiatan ilmiah, menjaring sponsor penelitian, dan bertindak sebagai peer reviewer untuk menguji kelayakan penelitian. Langkah kedua adalah menciptakan lingkungan kerja ilmiah. Untuk menciptakan lingkungan kerja keperawatan yang ilmiah (research-based culture), tahapan kegiatan yang perlu dilakukan adalah : (1) peningkatan pengetahuan; (2) diseminasi informasi; (3) mengintegrasikan hasil riset dengan fakta atau pengalaman sebelumnya; (4) mengaplikasikan hasil riset dalam praktik klinik keperawatan; (5) dan mengevaluasi praktik klinik keperawatan (Health Research Board, 2000 ; World Health Organisation, 1999). Untuk meningkatkan pengetahuan perawat, menejer menyusun kegiatan diseminasi secara berkala yang mempresentasikan hasil-hasil penelitian tim peneliti atau publikasi dari berbagai jurnal keperawatan (daftar alamat situs jurnal kesehatan terlampir dalam suplemen). Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi. Faktor utama yang dapat mendukung perkembangan praktik keperawatan prima adalah praktik keperawatan klinik maupun lapangan yang didasarkan dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian. Jennet dan Premkumar (1996), mengingatkan bahwa setiap riset yang telah dilakukan perlu dipublikasikan dan didiseminasikan. Hasil penelitian akan memperkuat atau mengesampingkan asumsi-asumsi yang telah ada sebelumnya dengan informasi yang lebih ilmiah. Manfaat yang paling penting bahwa hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan dan praktik klinis keperawatan (Dobbins, Ciliska,& Dicenso, 1998). Budaya melakukan penelitian dalam dunia keperawatan akan menghapuskan stagnansi perkembangan ilmu keperawatan serta munculnya berbagai inovasi ilmiah yang akan membantu mencapai tujuan keperawatan lebih efisien dan efektif. Langkah ketiga yaitu menyusun kebijakan mengenai kegiatan riset keperawatan di lingkungan rumah sakit dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Komite riset menyusun kebijakan dari berbagai aspek penelitian, misalnya: pengembangan strategi riset, penyusunan buku panduan penelitian, dan mengusulkan pembiayaan penelitian dari rumah sakit atau mengembangkan kerjasama dengan sponsor penelitian. Selanjutnya komite riset menyusun mekanisme pemanfaatan hasil riset sampai menjadi Standard Operating Procedure (SOP). Pemanfaatan riset keperawatan di rumah sakit tergantung dari organisasi keperawatan, anggota organisasi serta lingkungan kerja di sekitarnya (Dobbins et al., 1998). Karakteristik organisasi berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan memanfaatkan hasil riset, pengambilan keputusan, dukungan administrasi, dan iklim riset di lingkungan kerja (Dobbins et al., 1998). Namun menurut Funk et al., (1991), peran faktor organisasi lebih penting dibanding individu maupun faktor lingkungan. Faktor organisasi terutama untuk mengkondisikan lingkungan perawat dalam menciptakan budaya ilmiah (Steelman, 1996). Untuk itu, menejer keperawatan dapat berpedoman pada model Iowa untuk memanfaatkan hasil riset ke dalam praktik klinik keperawatan.Langkah keempat adalah pendidikan berkelanjutan terutama untuk meningkatkan pengetahuan perawat mengenai metodologi penelitian, statistik, menejemen informasi, teknik pemanfaatan hasil riset, dan penilaian kritis jurnal keperawatan. Dengan kemampuan tersebut diharapkan para perawat dapat melakukan riset sesuai bidang tugasnya.Solusi kedua adalah menyediakan fasilitas ilmiah misalnya menyediaan perpustakaan termasuk penyediaan literatur maupun internet. Fasilitas perpustakaan tersebut merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pemanfaatan hasil-hasil riset keperawatan. Penelitian membuktikan bahwa rumah sakit yang memiliki fasilitas perpustakaan dan iklim kerja ilmiah, perawat-perawat mereka memiliki kinerja yang lebih produktif dibandingkan rumah sakit yang lain (Dobbins et al., 1998; Royle et al., 1997).Menejer atau pemimpin keperawatan perlu mempengaruhi faktor organisasi keperawatan yang akan berdampak pada budaya pemanfaatan riset dalam praktik klinik keperawatan. Praktik yang bersifat evidence-based harus dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan organisatoris pada semua tingkat agar langkah-langkah tersebut dapat diadopsi dengan sukses (McGuire, 1990). Budaya ilmiah juga dapat dimanfaatkan sebagai strategi akuntabilitas publik, justifikasi tindakan keperawatan, dan bahan pengambilan keputusan. Kesadaran menejer keperawatan terhadap nilai riset yang potensial akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi organisasi, misalnya kinerja keperawatan yang meningkat dan out come klien yang optimal (Titler, Kleiber,& Steelman, 1994).Kemapanan budaya riset keperawatan di beberapa negara mengalami beberapa tahap perkembangan. Misalnya di Amerika Serikat perkembangan riset mengalami empat fase, yaitu : (1) fase stimulasi, (2) fase individualistis, (3) fase penyatuan, dan (4) fase keseimbangan (Ross, Mackenzie & Smith, 2003). Fase stimulasi ditandai dengan bangkitnya kegairahan riset keperawatan. Perawat secara individual melakukan riset mandiri dengan bimbingan ahli statistik merupakan cirri dari fase invidualistis, namun riset mandiri tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi riset keperawatan. Dalam fase penyatuan, beberapa peneliti keperawatan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu keperawatan dimana beberapa penelitian meneliti fenomena yang sama, misalnya penelitian tentang nyeri atau stres. Ciri dari fase ini adalah pengembangan infrastruktur riset keperawatan (network yang terorganisir). Dan pada fase terakhir, fase keseimbangan, munculnya kolaborasi beberapa program penelitian ilmiah yang mendukung infrastruktur yang telah terbangun dengan baik.

Referensi:
Cullum, N. (2001). Evaluation of studies of treatment or prevention interventions. Part 2: applying the results of studies to your patients. Evidence-Based Nursing, 4 : 7-8. http://ebn.bmjjournals.com/cgi/content/full/4/1/7 [diakses tanggal 2 Desember 2004]
Dobbins, M., Ciliska, D., & DiCenso, A. (1998). Dissemination and use of research evidence for policy and practice: A framework for developing, implementing and evaluating strategies. A report prepared for the Dissemination and Utilization Model Advisory Committee of the Canadian Nurses' Association and Health Canada.
Funk, S. G., Champagne, M. T., Weise, R. A., & Tornquist, E. (1991). Barriers to using nursing research findings in practice: The clinician's perspective. Applied Nursing Research, 4(2), 90-95.
Health Research Board (2000) Making Knowledge Work for Health: towards a strategy for research and innovation for health. Dublin: Health Research Board.Heater BS, Becker AM, & Olson RK, Nursing interventions and patient outcomes: A meta-analysis of studies, Nursing Research, 37(5) 1988, 303-307
Jennet, P. A., & Premkumar, K. (1996). Technology-based dissemination. Canadian Journal of Public Health, 87(6), S5-S10.McGuire, J. M. (1990). Putting nursing research findings into practice: Research utilization as an aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing, 15(2), 614-620.
Ross F, Mackenzie A, & Smith E, Identifying Research Priorities for Nursing and Midwifery Service Delivery and Organisation : A study undertaken for the Nursing and Midwifery Subgroup of the National Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery and Organisation R & D (NCCSDO), London: NCCSDO, 2003
Royle, J. A., Blythe, J., DiCenso, A., Baumann, A., & Fitzgerald, D. (1997). Do nurses have the information resources and skills for research utilization? Canadian Journal of Nursing Administration, 10(3), 9-30.
Royle, J., J. Blythe, D. Ciliska, & D. Ing. (2000). The Organizational Environment and Evidence-Based Nursing. Canadian Journal of Nursing Leadership, Jan/Feb 2000; 13 (1) http://www.nursingleadership.net/NL131/NL131JRoy-leetal.html [diakses tanggal 2 Desember 2004].
Steelman, V. M. (1996). Successful strategies for implementing ACHPR clinical practice guidelines. In K. Kelly & M. Mass (Eds.). Outcomes of effective management practice (SONA 8-Series on Nursing Administration). Newbury Park: Sage Publications.
Throstle, J. (1992). Research capacity building in international health: Definitions, evaluations, and strategies for success. Social Science and Medicine, 35(11), 1321-1324.
Titler, M. G., Kleiber, C., & Steelman, V. (1994). Infusing research into practice to promote quality care. Nursing Research, 43(5), 307-318.
Titler MG, Kleiber C, Rakel B, Budreau G, Everett LQ, Steelman V, Buckwalter KC, Tripp-Reimer T, & Goode C. (2001). The Iowa Model of Evidence-Based Practice to Promote Quality Care, Critical Care Nursing Clinics of North America, 13(4), 497-509.
World Health Organisation (1999) Health 21-Health for All in the 21st Century. A Introduction. Copenhagen: World Health Organisation.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home